Bara Api Konflik Agraria di Sumatera Utara [Sebuah Catatan]
Posted On 29 Apr, 2013 -
Oleh : Nicho Silalahi
Maraknya perampasan tanah yang dilakukan perkebunan swasta maupun
asing tidak menutup kemungkinan merupakan permainan yang dilakukaan para
elit partai serta melibatkan oknum – oknum aparat keamanan dan
pemerintahan pusat maupun daerah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
perlawanan rakyat, baik itu secara kelompok – kelompok kecil maupun
berupa aliansi dengan melibatkan puluhan organisasi rakyat serta ribuan
orang yang menjadi peserta aksinya.
Hampir setiap hari kita melihat aksi – aksi unjuk rasa, baik itu aksi
yang dilakukan secara damai ataupun yang berujung dengan kerusuhan.
Contohnya saja aksi damai yang dilakukan petani Padang Lawas di depan
kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD SU). Mereka
yang tergabung kedalam
KTTJM (Kelompok Tani Torang Jaya
Mandiri) melakukan aksi pendudukan dan mogok makan serta menjahit mulut.
Walaupun begitu, aksi ini tidak juga berhasil mengetuk pintu hati
penguasa untuk beritikat baik dengan segera menyelesaikan kasus
perampasan tanah yang dilakukan PT SRL (Sumatera Riang Lestasi) dan PT
SSL (Sumatera Silva Lestari) yang diduga milik taipan Sukamto Tanoto.
Aksi yang dlakukan yang berlangsung selama 2 bulan aksi itu dilakukan
belum menemukan titik terang atas penyelesaian sengketa lahan mereka
terhadap kedua tersebut. Sedangkan dalam Pancasila yang menjadi ideologi
bangsa, sila ke-2 berbunyi :
“Kemanusiaan yang adil dan beradap” dan sila ke- 5 berbunyi:
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tapi kedua sila itu sepertinya tidak berlaku kepada para petani yang
melakukan aksi menginap dan mogok makan serta jahit mulut di depan
kantor DPRD SU beberapa waktu yang lalu.
Belum lagi permasalahan sengketa lahan yang dialami oleh Forum Tani
JAS MERAH. Telah
berulang kali merka melakukan aksi damai untuk menuntut dikembalikannya
tanah seluas 78,16 Ha yang telah diperjualbelikan oleh Dirut PTPN II
Ir.H Suwandi kepada pemilik YPNA (Yayasan Pendidikan Nurul Amaliyah)
DR.Suprianto alias Anto Keling dengan harga sekita Rp.11,500/m² pada
tahun 2006. Sementara itu HGU PTPN II itu telah habis masa berlakunya
pada tahun 2000 dan tidak diperpanjang lagi sesuai SK BPN Pusat No 42
Tahun 2002.
Dengan penjualan yang dinilai ilegal ini maka Suwandi dijatuhi
hukuman 2 tahun penjara pada tahun 2008. Jual beli yang ia lakukan bukan
menjadi kewenangannya sesuai PP No.40 1996, Seharusnya lahan HGU yang
telah habis masa berlakunya segera dikembalikan pada negara dan
diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk segera
langsung mendistribusikan tanah tersebut kepada rakyat.
Berdasarkan Kartu Regestrasi Penggarap Tanah (KRPT) menunjukkan tanah
tersebut milik rakyat. Pada era Soeharto telah dirampas dari para
petani dengan menggunakkan kekuatan militernya. Saat itu siapa saja yang
melawan pada waktu perampasan akan ditangkap dengan tuduhan antek –
antek BTI / PKI (Barisan Tani Indonesia/Partai Komunis Indonesia).
Rombongan anggota komisi II DPR RI yang pernah datang ke posko
Forum Tani JAS MERAH
antara lain: Mestariady (Grindra), Abdul Wahab Dalimunthe (Demokrat),
Rosmiati (Demokrat), Akbar Faisal (Hanura), Tunmanjaya (PKS), Heru Chair
(PAN), Mukowap (PPP), yang dipimpin Chairuman Harahap (Golkar). Dalam
kunjungan tersebut turut hadir Kapolres Deli Serdang serta Asisten III
Pemprov Sumut. Mereka mendengarkan keluh kesah para petani. Namun tetap
saja hasilnya nihil karena tanah yang diharapkan para petani tak
kunjung kembali. Bisa dikatakan kunjungan kerja komisi II DPRRI terkesan
hanya seremonial belaka untuk menghamburkan uang rakyat saja.
Jika kita mengacu pada Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 yang dengan tegas berbunyi:
Pasal 6 “Setiap Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial“. Pasal 7 “Untuk Tidak Merugikan Kepentingan Umum Maka Pemilikan dan Penguasaan Tanah yang Melampaui Batas Tidak Diperkenankan”. Pasal 13
ayat (1) “Pemerintah Berusaha Agar Supaya Usaha – usaha Dalam Lapangan
Agraria Diatur Sedemikian Rupa, Sehingga Meninggikan Produksi dan
Kemakmuran Rakyat Sebagai yang Dimaksud Dalam Pasal 2 ayat (3) Serta
Menjamin Bagi Setiap Warga – Negara Indonesia Derajat Hidup yang Sesuai
Dengan Martabat Manusia, Baik Bagi Diri Sendiri Maupun Keluarganya”.
Ayat (2) “Pemerintah Mencegah Adanya Usaha – usaha Dilapangan Agraria
Dari Organisasi – organisasi dan Perseorangan yang Bersifat Monopoli
Swasta”. Jika saja UUPA dijalankan secara konsekuen tanpa membedakan
kelas sosial yang kaya dan miskin maka konflik agraria bisa
diminimalisir.
Masih banyak dan teramat banyak permasalahan tanah di Sumatera Utara
ini yang tidak pernah diselesaikan satupun. Persoalan tersebut bisa
menjadi bom waktu yang tinggal menunggu kapan tiba waktunya akan
meledak, dan akan bermuara pada kerusuan masal yang akan menimbulkan
banyak korban, baik itu korban jiwa dan harta. Kurang lebih terhadap 700
kasus tanah di Sumut yang sedang mendidih. Bisa jadi kasus-kasus
tersebut bermuara pada Revolusi Agraria. Bila para petani ini tidak lagi
percaya pada pemerintahan maka malapetaka bagi bangsa ini akan segera
terjadi.
Karena percikan – percikan api kerusuhan telah berulang kali terjadi
seperti yang dicatat penulis dari berbagai sumber berita yang masih
segar dalam ingatan kita:
- Pembakaran Kantor PT. Nauli Sawit Di Kab.Tapanuli Tengah (2008)
- Pembakaran 4 Dump Truck disimpang PLTU Labuhan Angin Kab. Tapanuli Tengah (2010).
- Pembakaran 15 truk dan bus, di kawasan PTPN II Kec. Kutalimbaru, Kab. Deliserdang (2012).
Tuntutan dari kaum tani sudah secepatnya perlu diselesaikan agar
kejadian seperti di Mesuji dan Bima yang telah merenggut banyak nyawa
tidak terulang lagi. Pemerintah sudah seharusnya segera mendistribusikan
tanah yang telah habis masa HGU-nya kepada petani agar swasembada
pangan bisa kembali lagi terjadi di negeri ini. Jangan lagi tanah yang
telah habis masa HGU-nya dibagikan kepada mafia tanah maupun deplover
(pengembang) untuk membuat kawasan – kawasan elit.
Bila hal itu dilakukan oleh pemerintah dengan segera, maka jika
dilihat dari aspek ekonominya akan mengangkat taraf kehidupan masyarakat
terutama kaum tani yang selama ini tidak memiliki tanah. Dengan begitu
akan menciptakan lapangan kerja produktif yang baru serta mampu mencegah
urbanisasi dan penumpukan penduduk di tengah kota. Apabila ini terjadi,
program pemerintah untuk memangkas kemiskinan akan berjalan sangat
efektif dan secara tidak langsung mampu mengurangi pengaguran,
premanisme, pengemis, serta problem sosial lainnya. Akan tetapi kalau
pemerintah diam saja, bisa jadi bara api itu akan berkobar di Sumut,
karena rakyat memilih jalan keluarnya sendiri.***
Tentang Penulis:
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Medan
Area. Selama ini aktif mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro
pada rakyatnya.
Sumber : http://tikusmerah.com/?p=454