Pages

Sunday, 26 May 2013

Bara Api Konflik Agraria di Sumatera Utara [Sebuah Catatan]

Bara Api Konflik Agraria di Sumatera Utara [Sebuah Catatan]

Oleh : Nicho Silalahi
 Maraknya perampasan tanah yang dilakukan perkebunan swasta maupun asing tidak menutup kemungkinan merupakan permainan yang dilakukaan para elit partai serta melibatkan oknum – oknum aparat keamanan dan pemerintahan pusat maupun daerah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perlawanan rakyat, baik itu secara kelompok – kelompok kecil maupun berupa aliansi dengan melibatkan puluhan organisasi rakyat serta ribuan orang yang menjadi peserta aksinya.

Hampir setiap hari kita melihat aksi – aksi unjuk rasa, baik itu aksi yang dilakukan secara damai ataupun yang berujung dengan kerusuhan.  Contohnya saja aksi damai yang dilakukan petani Padang Lawas di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD SU). Mereka yang tergabung kedalam KTTJM (Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri) melakukan aksi pendudukan dan mogok makan serta menjahit mulut. Walaupun begitu, aksi ini tidak juga berhasil mengetuk pintu hati penguasa untuk beritikat baik dengan segera menyelesaikan kasus perampasan tanah yang dilakukan PT SRL (Sumatera Riang Lestasi) dan  PT SSL (Sumatera Silva Lestari) yang diduga milik taipan Sukamto Tanoto.

Aksi yang dlakukan yang berlangsung selama 2 bulan aksi itu dilakukan belum menemukan titik terang atas penyelesaian sengketa lahan mereka terhadap kedua tersebut. Sedangkan dalam Pancasila yang menjadi ideologi bangsa, sila ke-2 berbunyi : “Kemanusiaan yang adil dan beradap” dan sila ke- 5 berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kedua sila itu sepertinya tidak berlaku kepada para petani yang melakukan aksi menginap dan mogok makan serta jahit mulut di depan kantor DPRD SU beberapa waktu yang lalu.

Belum lagi permasalahan sengketa lahan yang dialami oleh Forum Tani JAS MERAH. Telah berulang kali merka melakukan aksi damai untuk menuntut dikembalikannya tanah seluas 78,16 Ha yang telah diperjualbelikan oleh Dirut PTPN II Ir.H Suwandi kepada pemilik YPNA (Yayasan Pendidikan Nurul Amaliyah) DR.Suprianto alias Anto Keling dengan harga sekita Rp.11,500/m² pada tahun 2006. Sementara itu HGU PTPN  II itu telah habis masa berlakunya pada tahun 2000 dan tidak diperpanjang lagi sesuai SK BPN Pusat No 42 Tahun 2002.

Dengan penjualan yang dinilai ilegal ini maka Suwandi dijatuhi hukuman 2 tahun penjara pada tahun 2008. Jual beli yang ia lakukan bukan menjadi kewenangannya sesuai PP No.40 1996, Seharusnya lahan HGU yang telah habis masa berlakunya segera dikembalikan pada negara dan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk segera langsung mendistribusikan tanah tersebut kepada rakyat.

Berdasarkan Kartu Regestrasi Penggarap Tanah (KRPT) menunjukkan tanah tersebut milik rakyat. Pada era Soeharto telah dirampas dari para petani dengan menggunakkan kekuatan militernya. Saat itu siapa saja yang melawan pada waktu perampasan akan ditangkap dengan tuduhan antek – antek BTI / PKI (Barisan Tani Indonesia/Partai Komunis Indonesia).

Rombongan anggota komisi II DPR RI yang pernah datang ke posko Forum Tani JAS MERAH antara lain: Mestariady (Grindra), Abdul Wahab Dalimunthe (Demokrat), Rosmiati (Demokrat), Akbar Faisal (Hanura), Tunmanjaya (PKS), Heru Chair (PAN), Mukowap (PPP), yang dipimpin Chairuman Harahap (Golkar). Dalam kunjungan tersebut turut hadir Kapolres Deli Serdang serta Asisten III Pemprov Sumut. Mereka mendengarkan keluh kesah  para petani. Namun tetap saja hasilnya nihil karena tanah yang diharapkan para petani tak kunjung kembali. Bisa dikatakan kunjungan kerja komisi II DPRRI terkesan hanya seremonial belaka untuk menghamburkan uang rakyat saja.

Jika kita mengacu pada Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 yang dengan tegas berbunyi:  Pasal 6 “Setiap Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial“. Pasal 7 “Untuk Tidak Merugikan Kepentingan Umum Maka Pemilikan dan Penguasaan Tanah yang Melampaui Batas Tidak Diperkenankan”. Pasal 13 ayat (1) “Pemerintah Berusaha Agar Supaya Usaha – usaha Dalam Lapangan Agraria Diatur Sedemikian Rupa, Sehingga Meninggikan Produksi dan Kemakmuran Rakyat Sebagai yang Dimaksud Dalam Pasal 2 ayat (3) Serta Menjamin Bagi Setiap Warga – Negara Indonesia Derajat Hidup yang Sesuai Dengan Martabat Manusia, Baik Bagi Diri Sendiri Maupun Keluarganya”. Ayat (2) “Pemerintah Mencegah Adanya Usaha – usaha Dilapangan Agraria Dari Organisasi – organisasi dan Perseorangan yang Bersifat Monopoli Swasta”. Jika saja UUPA dijalankan secara konsekuen tanpa membedakan kelas sosial yang kaya dan miskin maka konflik agraria bisa diminimalisir.

Masih banyak dan teramat banyak permasalahan tanah di Sumatera Utara ini yang tidak pernah diselesaikan satupun. Persoalan tersebut bisa menjadi bom waktu yang tinggal menunggu kapan tiba waktunya akan meledak, dan akan bermuara pada kerusuan masal yang akan menimbulkan banyak korban, baik itu korban jiwa dan harta. Kurang lebih terhadap 700 kasus tanah di Sumut yang sedang mendidih. Bisa jadi kasus-kasus tersebut bermuara pada Revolusi Agraria. Bila para petani ini tidak lagi percaya pada pemerintahan maka malapetaka bagi bangsa ini akan segera terjadi.

Karena percikan – percikan api kerusuhan telah berulang kali terjadi seperti yang dicatat penulis dari berbagai sumber berita yang masih segar dalam ingatan kita:
  1. Pembakaran Kantor PT. Nauli Sawit Di Kab.Tapanuli Tengah (2008)
  2. Pembakaran 4 Dump Truck disimpang PLTU Labuhan Angin  Kab. Tapanuli Tengah (2010).
  3. Pembakaran 15 truk dan bus, di kawasan PTPN II Kec. Kutalimbaru, Kab. Deliserdang (2012).
Tuntutan dari kaum tani sudah secepatnya perlu diselesaikan agar kejadian seperti di Mesuji dan Bima yang telah merenggut banyak nyawa tidak terulang lagi. Pemerintah sudah seharusnya segera mendistribusikan tanah yang telah habis masa HGU-nya kepada petani agar swasembada pangan bisa kembali lagi terjadi di negeri ini. Jangan lagi tanah yang telah habis masa HGU-nya dibagikan kepada mafia tanah maupun deplover (pengembang) untuk membuat kawasan – kawasan elit.

Bila hal itu dilakukan oleh pemerintah dengan segera, maka jika dilihat dari aspek ekonominya akan mengangkat taraf kehidupan masyarakat terutama kaum tani yang selama ini tidak memiliki tanah. Dengan begitu akan menciptakan lapangan kerja produktif yang baru serta mampu mencegah urbanisasi dan penumpukan penduduk di tengah kota. Apabila ini terjadi, program pemerintah untuk memangkas kemiskinan akan berjalan sangat efektif dan secara tidak langsung mampu mengurangi pengaguran, premanisme, pengemis, serta problem sosial lainnya. Akan tetapi kalau pemerintah diam saja, bisa jadi bara api itu akan berkobar di Sumut, karena rakyat memilih jalan keluarnya sendiri.***

Tentang Penulis:
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area. Selama ini aktif mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro pada rakyatnya.

Sumber : http://tikusmerah.com/?p=454

No comments:

Post a Comment